SOS Children Village

Sebagai manusia dengan komponen psikologis yang (relatif) normal, tak jarang aku mempertanyakan posisiku di masyarakat. Aapakah aku telah menjadi bagian yang berfungsi dan memberikan apa yang aku bisa dan miliki untuk kemajuan bersama, atau aku hanya sekadar parasit yang kerjanya hanya menyerap sumber daya di sekitarku untuk memenuhi kebutuhan pribadiku sendiri?

Jadi ketika salah satu agen dari SOS Children Village melakukan sosialisasi program mereka padaku di sebuah pusat perbeanjaan sekitar setahun yang lalu, aku secara antusias mendaftarkan diri sebagai donatur tetap.

Mengutip penjelasan dari website mereka:

SOS Children’s Villages adalah organisasi sosial nirlaba non-pemerintah yang aktif dalam mendukung hak-hak anak dan berkomitmen memberikan anak-anak yang telah atau beresiko kehilangan pengasuhan orang tua kebutuhan utama mereka, yaitu keluarga dan rumah yang penuh kasih sayang.

Besaran donasi yang minimal program mereka adalah Rp. 150.000,-

Anggapan atas besar atau kecilnya jumlah tersebut tentunya tergantung pada siapa yang kita tanya.

Bagiku jumlah tersebut cukup besar untuk dikeluarkan setiap bulan. Apalagi aku memiliki manajemen keuangan yang bisa dibilang kacau, dengan pembelian impulsif now and then yang memperparah keadaan. Jadi meskipun di satu sisi aku merasa senang dan “penuh” karena berkontribusi positif bagi kehidupan anak-anak Indonesia yang membutuhkan, di sisi lain tak jarang aku merasa berat dan kesal melihat angka Rp. 150.000,- melayang otomatis melalui sistem autodebet dari rekeningku.

Selama beberapa bulan terakhir berulang kali aku mempertimbangkan untuk berhenti sama sekali dari program donasi tersebut. Dan berulang kali pula keputusanku tertunda karena perasaan bersalah pada anak-anak yang wajahnya saja belum pernah kujumpai langsung.

Lalu puncaknya adalah November ini ketika keperluanku sedang tinggi, angka di rekeningku membuatku membulatkan keputusan untuk menghentikan donasi bulananku. Jadi aku menghubungi pihak SOS Children Village melalui nomor 021-22785534.

Mereka menerima keputusanku untuk menghentikan donasi dengan terbuka, namun disertai perkataan manis yang menggambarkan apresiasi mereka atas kontribusiku selama ini dan perasaan sedih karena harus “berpisah” denganku. Sebagai orang yang mempelajari psikologi, aku menyadari betul taktik yang mereka gunakan. Menurutku kata-kata yang mereka gunakan dirangkai dengan apik, membangkitkan perasaan hangat atas apresiasi mereka dan perasaan bersalah karena menghentikan donasi dalam porsi yang pas.

Kemudian ada sebuah plot twist yang membuatku menyesal tidak menelepon dari bulan kemarin-kemarin:

Rupanya SOS Children Village menyediakan alternatif besaran donasi yang lebih ringan. Saat mendaftar dan juga melakukan riset di web mereka, aku hanya menemukan angka Rp. 150.000,- sebagai jumlah minimal dan beberapa jumlah lain yang lebih besar dari itu.

Pihak SOS Children Village memberikan tawaran angka donasi sebesar Rp. 50.000,-

Dengan sedikit kesal (karena sebelumnya aku kira pilihanya hanya minimal Rp. 150.000,- atau tidak sama sekali) dan juga gembira karena aku tidak harus menghentikan kontribusiku sama sekali) aku menerima tawaran tersebut.

Jadi mulai bulan Desember nanti aku tidak akan lagi gigit jari karena angka autodebet yang tinggi sehingga bisa benar-benar “menikmati” kontribusi kecilku bagi masyarakat. Ini juga menjadi wake up call bagiku untuk mengatur keuanganku dengan lebih baik sehingga dapat berkontribusi lebih besar lagi.

Sebagai penutup, aku mengajak siapapun yang membaca postingan ini untuk melakukan donasi bagi SOS Children Village. Terlalu banyak anak yang membutuhkan uluran bantuan kita, sayangnya terlalu sedikit orang yang peduli bahkan hanya untuk mempertimbangkan memberi donasi satu kali. Jadi jika kita bisa melakukan donasi rutin, meskipun julahnya “tidak seberapa”, pasti akan sangat berguna bagi mereka. Semakin banyak orang yang berhasil kita ajak, semakin banyak orang yang kita bantu.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai SOS Children Village Indonesia dapat didapatkan melalui:

KONTAK MEDIA
Fund Development & Communication

Jl. Jati Padang Utara No.13
Jakarta 12540 – Indonesia
Telp. 021-22785534
kontak@sos.or.id

https://www.sos.or.id/

P.S. Sejauh yang aku tahu untuk pendaftaran tidak bisa dimulai dari Rp. 50.000,-, jadi tetap harus dimulai dari Rp. 150.000,-. Tetapi untuk bulan selanjutnya bisa dicoba untuk menghubungi mereka untuk melakukan penyesuaian besaran donasi.

Why did I switch to the Black Team even though I think the Greens are way cooler?

[Warning: House of the Dragon spoilers, bad grammar, cringy choice of words]

In several earlier episodes of House of the Dragons, I was on the Green Team. How can I not? Rhaenyra, basically the heart and soul of the Black Team, was an ungrateful, spoiled princess. All she did was break the rules and whine about things. On the other hand, her best friend, Alicent Hightower, was a good girl who always tried to do her best to fulfill the expectations placed on her shoulders. Rhaenyra was fun to watch, but Alicent really stole my sympathy.


Alicent is a good person by nature. It’s one thing we can’t deny. Unfortunately, she was surrounded by snakes that used her as a pion.


As time goes by, Alicent has made some terrible choices because of this situation. The moment she chose to wear green to Rhaenyra’s wedding ceremony, she succumbed to her father’s idea of dividing teams. Basically, she gave birth to the baby of rupture in the family. This has made her become a paranoid mother who fills her children’s brains with hatred and fear of their half-sibling. The idea that she got from her papa.


At first, I thought her way of thinking was reasonable. Aegon II existence IS a threat for Rhaenyra’s future reign afterall. But after Alicent rejected Rhaenyra’s idea to bethrot their children, I began to feel that she didn’t just try to keep her children safe, but also started to wish Aegon to get the throne because she saw Rhaenyra’s children as bastards that didn’t have the right to be the heir, thus not worthy of her daughter. That was really unfortunate, because if Jace and Helaena get married, the dance can be avoided (but it was fortunately for us because, in that way, the show did not end prematurely lol).


Then she made her “accidental-wish” to Larry the Genie, resulting in the deaths of Harwin Strong and his father, hurting Rhaenyra’s side and giving the chance for Otto the oto-san (oto-san means father in Japanese) to get his old job back and scheming further to get to the crown.


Alicent was such a “good girl” that she bottled up all her feelings, making her wish to take Rhaenyra’s child’s eye for blinding Aemond’s eye, even though inexcusable (they’re freaking kids, Al, chill out with the Lex Talionis thing), understandable. I mean, let’s try to be in her shoes for a second. If in all of our lives we always try to do the right things, yet it seems like it’s never enough, and then there is a person that has the guts to break rules and get away with it like Rhaenyra, I bet it will drive us at least a little crazy too.


This craziness made Alicent kind of forget to shape her kids, especially Aegon II, to be proper people. All she did was prepare Aegon II for the battle with Rhaenyra. And she had the audacity to make the “surprised Pikachu face” when Aegon got drunk, jerking off in the window, being disrespectful, and then raping their handmaiden.


Aegon II’s act of rape was my last straw for the Green Team. At that time, I was realizing that if we ignore all the other aspects, if I have to choose between the egosentric rule-breaking brat and the ignorant spoiled rapist, I’ll choose that brat anytime. For me, it’s about choosing the lesser evil.


Oh, and I think Rhaenyra is a good mother. That gives her a lot of plus points for me. She really has grown as a person; becoming a mom made her a little less egoistical, perhaps.


In the end, I still think that the Green has more interesting characters than the Black. Daemon was a badass, but after he became a dad, he is less chaotic now, which makes him lose some points for me. On the other hand, Aemond (a.k.a. the drugstore version of Daemon) still has this creepy, exciting vibe about him. His first scene with Vhagar was a *chef’s kiss*. And his “strong boys” insult worth a million dollar. I’m willing to pay for him to roast me (literal and figuratively xD). I can’t wait for all the fd-up things he’ll do in the future.

I also like Helaena. With the little screentime she got, she stole my heart with her innocence and quirks. I really want to see more scenes of her and her unique ability.

And I know I’ve shown hatred toward Aegon II in this writingbut I can’t deny that Aegon is the comic relief of the show so many times. I mean like the hair flip, the yawning, the eye-rolling, omg you have to watch this video of him xD It almost feels like if he was born in a different situation where he’s not spoiled and brainwashed by the Green, he could be a pretty chill dude to be friends with. You know that one guy in the group of friends that always does stupidly amusing things and is funny without even trying? It’s kind of like Sokka from the Avatar series.

And there are a few honorable mentions for the Green. While the Black characters have more good and plain personalities, the Green ones have various kinds of fd-up people. Ser Crispin, the casual killer who did not age after 20 years (like seriously, the dude needs to be a beauty vlogger and drop his skincare routine). Feet-kink Larry, who subscribes to the Queen’s medieval Onlyfans. And last but not least, there is Daddy Hightower, an old man who matchmade his daughter with another old man. Those kinds of characters are the ones that make the show interesting to me.


So, yeah, that is why even though my brain has now chosen the Black, my heart is still in the Green.
 


P.S. : The future me, after proofreading this post, can’t believe about how many times I refer to Otto as various kind of “daddy” -_- from the bottom of my heart I apologize for the inconvenient xP

Yang Kucari dan yang Kudapatkan dari Program Studi S1 Psikologi

Photo by cottonbro from Pexels

Di awal perkuliahan pada 2018 silam, acap kudengar beragam jawaban atas pertanyaan “Kenapa kamu memilih kuliah Psikologi?” di antara teman-teman seangkatanku. Beberapa menjawab karena mereka ingin membantu orang-orang yang memiliki masalah dengan kehidupan mereka, ada juga yang bilang kalau mereka ingin bisa lebih outgoing dalam pergaulan, atau ingin menjadi orang yang lebih baik untuk sekitar.

Aku sendiri dulu menjawab dengan ndakik-ndakik bahwa manusia berbeda dari binatang yang lainnya karena bisa membangun sekaligus menghancurkan peradaban sehingga menarik untuk dipelajari. Meskipun tidak sepenuhnya bohong, tapi alasan itu sebenarnya sudah kusiapkan khusus untuk menjawab pertanyaan di awal. Kenapa? Ya karena kedengaran lebih keren saja dibandingkan jawaban yang lebih jujurnya: Aku merasa ada yang salah dengan diriku tetapi aku tidak tahu apa itu. Aku ingin mengenali dan menyelesaikan masalahku sendiri.

Apakah aku mendapatkan yang aku cari?

Ya dan tidak.

Begini penjelasannya. Sebelumnya kukira aku akan belajar untuk mengobati lUkA bAtIn mAsA jAnIn-ku sendiri kemudian sembuh dan jadi manusia super yang 100% sehat mental.

Masalahnya:

  1. Apabila kamu memiliki gangguan mental, yang dapat mendiagnosisnya adalah Psikolog.
  2. Untuk menjadi Psikolog, kamu harus menempuh pendidikan S2 Profesi Psikologi (sejauh ini aku tidak tertarik melakukannya).
  3. Pada akhirnya setelah jadi Psikolog pun kamu tetap tidak bisa mendiagnosis diri sendiri karena alasan subjektivitas.

Lihat masalah dari keinginan awalku kan? Aku ingin menyelesaikan semua permasalahan mentalku sendiri, padahal untuk beberapa hal itu tidak memungkinkan.

Tapi bukan berarti aku sepenuhnya tidak mendapatkan yang kucari. Setelah dua tahun berkuliah dan mempelajari bidang ini, aku dapat dengan yakin mengatakan bahwa aku tidak menyesalinya sama sekali. Ada banyak sekali sisi kehidupanku yang mengalami peningkatan kualitas karena aku jadi lebih pengertian dan tidak begitu judgemental lagi pada orang lain ataupun diriku sendiri. Ada banyak sekali pembahasan menarik mengenai hal sehari-hari dari kacamata Psikologi. Aku akan menuliskannya di blog ini di dalam kategori “Psikologi”. Sebagai permulaan, aku akan menulis tentang Psikologi Dasar untuk berbagi informasi sekaligus me-refresh ingatan tentang mata kuliah yang kudapatkan di semester satu dulu itu.

Sebagai penutup aku ingin menambahkan sesuatu, khususnya bagi teman-teman yang sedang mempertimbangkan prodi Psikologi untuk dipelajari di bangku perkuliahan:

Jika yang kamu cari adalah uang, maka program studi ini bukan pilihan terbaik untukmu. Masih banyak prodi lain yang memiliki peluang kerja dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Tapi apabila kamu ingin lebih memahami proses berpikir dan perilaku manusia—termasuk dirimu sendiri—yang terkadang aneh-aneh dan tidak masuk akal, maka prodi ini akan memberikan petualangan yang menyenangkan bagimu.

Cheers!

Apa yang Harus Disiapkan untuk Mendaftar Anggota Perpuskot Jogja (Juli 2020)

Wahh, niatnya aku membuat tulisan ini untuk diposting bulan lalu. Lah dalah malah kelupaan. Ya sudah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Lagi pula persyaratan mendaftarnya kurasa sama saja (atau kalau beda paling hanya sedikit). Silahkan disimak~

Perpustakaan Kota Jogja

Letaknya ada di Jalan Suroto. Dari UGM luruuuus saja terus ke arah Selatan, putar balik sedikit, sampailah di sana. Karena aku datang masih dalam suasana pandemi, sebelum masuk gerbang aku dicek suhu terlebih dahulu. Motorku juga diberi nomor (satu digantung di spion, satu kubawa masuk perpustakaan) dan aku diingatkan untuk mencuci tangan sebelum masuk ke dalam perpustakaan.

Setelah parkir (gratis kok) dan mencuci tangan, aku masuk dan mengantre untuk mengisi buku tamu. Nah, ternyata di sini pengunjung ditanyai alamat dengan cukup detail, jadi pastikan saat ke sana kalian ingat alamat lengkap (termasuk RT-RW) supaya antrean tidak mengular terlalu panjang. Kita juga bisa daftar untuk penggunaan wifi. Setelah mengisi nama dan TTD kita diberi secarik kecil kertas berisi username dan password (aku daftar tapi malah tidak kugunakan -_-, lupa kalau cuma mau mampir sebentar di sana).

Kemudian aku menanyakan cara untuk mendaftar anggota pada petugas yang berjaga. Aku dipersilakan untuk memilih buku terlebih dahulu, baru mendaftar.

Setelah buku yang hendak kupinjam sudah ketemu (maksimal dua buah) aku kembali ke meja administrasi dan menyerahkan KTP serta KTM (untuk penduduk DIY sepertinya KTP saja, tapi karena KTP-ku luar DIY jadi aku juga menyerahkan KTM). Sambil mbak penjaganya mendata kartu identitasku, aku mengisi formulir berisi nama lengkap, nomor kartu identitas, alamat asal, alamat domisili, nama universitas, alamat universitas, nomor telepon, alamat email, dan nama ibu. Setelahnya aku mengisi data serupa yang lebih singkat pada kartu dan semacam amplop kecil.

Kemudian aku dipersilakan untuk berdiri di depan kamera kecil yang disediakan. Jadi tidak perlu bawa foto sendiri yaa. Foto tersebut diambil untuk diletakkan pada kartu anggota. Setelahnya aku diminta untuk menunggu sekitar 10 menit.

Tak lama kemudian namaku dipanggil dan kartu anggotaku jadi 😀

Selain cepat, proses pendaftarannya ternyata juga gratis.

Nah setelah kartu jadi aku sudah bisa meminjam buku. Untuk meminjam aku harus meninggalkan kartu identitas (aku meninggalkan KTM karena takut membutuhkan KTP dan SIM) dan menyerahkan fotocopy KTP (atau mungkin fotocopy kartu identitas lain juga boleh? aku lupa). Untuk fotocopy KTP hanya perlu menyerahkan sekali, tapi setiap meminjam harus meninggalkan kartu identitas. Jika kalian meninggalkan SIM kemudian suatu hari perlu menggunakannya tapi belum mau mengembalikan buku, SIM tersebut boleh ditukar dengan kartu identitas yang lain sebagai penjamin. Kemudian setelah diproses tak begitu lama… bukunya sudah boleh kubawa pulang!

Di gerbang keluar jangan lupa mengembalikan dua nomor yang tadi diberikan pada petugas yang ada di sana 😉

Nah, begitu pengalamanku beberapa waktu lalu dengan Perpustakaan Kota Jogja. Secara umum aku sangat puas dan terbantu dengan fasilitas serta petugas yang ada. Ngomong-ngomong Perpuskot juga menyediakan layanan antar buku. Kapan-kapan akan kucoba. Tunggu apa lagi, yuk ke perpustakaan! :))

[Update Agustus 2020]

Sebenarnya perubahannya tak banyak, hanya ketika diperiksa suhu di pintu gerbang, bagian bawah alas kaki kita disemprot cairan pembersih. Kata satpamnya ini karena jumlah kasus Covid-19 semakin banyak, jadi langkah pencegahan persebarannya harus diperketat.

Tugas UAS Kesehatan Mental

Penerapan Filosofi Teras lewat Cognitive Behavioral Therapy pada Kelompok Miskin Baru dengan Gejala Gangguan Kesehatan Mental

Penyebaran Covid-19 yang sangat cepat membuat pemerintah di banyak negara mengambil kebijakan yang bertujuan untuk menekan kenaikan kasus positif penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini. Kebijakan yang diambil termasuk dengan karantina wilayah dan pembatasan sosial (Sari, 2020).

Meskipun memiliki tujuan yang baik, akan tetapi pembatasan sosial ini juga memiliki efek samping, terutama di bidang perekonomian. Berhentinya banyak sektor mengakibatkan penurunan penghasilan bagi jutaan orang, bahkan banyak di antaranya kehilangan pekerjaan. Menurut Bank Dunia (Mahler et al., 2020), apabila kondisi yang sama terus berlangsung, maka diperkirakan akan ada 49 juta orang yang masuk ke dalam kelompok miskin akibat pandemi ini.

Turunnya tingkat socio-economi status (SES) secara mendadak dapat mengancam kesejahteraan masyarakat kelompok miskin baru ini. Menurut penelitian dari McLaughlin dkk (2012), remaja dengan tingkat SES yang rendah dan mengalami kerentanan pangan cenderung memiliki kemungkinan menderita gangguan mood, kecemasan, gangguan perilaku dan gangguan mental lainnya.

Sementara pemerintah berusaha untuk menangani permasalahan tersebut dari sisi ekonomi, kondisi kesehatan mental dari masyarakat yang jatuh miskin ini juga harus mendapatkan intervensi agar tidak berlanjut menjadi lebih parah. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT merupakan teknik terapi kondisi mental dengan memodifikasi proses penilaian dan interpretasi seseorang terhadap situasi yang dialaminya (Putranto, 2016). Dengan adanya perubahan paradigma masyarakat dari kelompok miskin baru terhadap kondisi SES mereka sekarang, maka penerimaan mereka terhadap kondisi tersebut dapat menekan kemungkinan gangguan mental yang mereka alami.

CBT yang diberikan pada kelompok miskin baru ini dapat dilakukan dengan menerapkan Filosofi Teras. Filosofi ini memiliki pandangan dasar mengenai dikotomi kendali, yaitu hal-hal yang ada di dalam kendali kita dan hal-hal yang di luar itu. Dalam penerapat Filosofi Teras, kita hanya perlu fokus pada hal yang dapat kita kendalikan, di antaranya adalah pikiran, perkataan, dan perilaku kita sendiri. Hal yang ada di luar kendali kita, seperti jatuh miskin karena pandemi, merupakan sesuatu yang sia-sia untuk dirisaukan (Manampiring, 2019). Dengan menyadari hal tersebut dan menerapkannya, maka masyarakat dari kelompok miskin baru dapat memiliki ketangguhan mental yang lebih baik.

Daftar Pustaka

McLaughlin, K. A., Green, J. G., Alegría, M., Jane Costello, E., Gruber, M. J., Sampson, N. A., & Kessler, R. C. (2012). Food Insecurity and Mental Disorders in a National Sample of U.S. Adolescents. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 51(12), 1293–1303. doi:10.1016/j.jaac.2012.09.009


Mahler, D., Lakner, C., Aguilar, R., & Wu, H. (2020). The impact of COVID-19 (Coronavirus) on global poverty: Why Sub-Saharan Africa might be the region hardest hit. World Bank Blogs. Retrieved 10 May 2020, from https://blogs.worldbank.org/opendata/impact-covid-19-coronavirus-global-poverty-why-sub-saharan-africa-might-be-region-hardest.


Manampiring, H. (2019). Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh. Penerbit Buku Kompas.


Putranto, A. (2016). Aplikasi Cognitive Behavior dan Behavior Activation dalam Intervensi Klinis. Jakarta: Grafindo Books Media.


Sari, Y. I. (2020). Sisi Terang pandemi COVID-19. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 89-94. doi:10.26592/jihi.v0i0.3878.89-94